Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar
kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan
(individu dengan individu), antara individu denganpemerintah suatu negara atau
pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.
Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah
satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional
telah terjadi selama ribuan tahun (lihatJalur Sutra, Amber Road), dampaknya
terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad
belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong Industrialisasi, kemajuan
transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.
Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan
perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan
kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas
politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan
adanya bea, tarif, atau quota barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan
budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
Model Adam Smith
Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang
menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan
negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan
negara lain. Menurut teori ini jika harga barang dengan jenis sama tidak
memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk melakukan
perdagangan internasional.
Model Ricardian
Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan
mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional.
Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang
mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model
ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh
dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak
secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh
dan modal dalam negara.
Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model
Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang
jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat.
Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak
memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal
kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional
ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau
negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari
faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor
lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal
sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief
yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang
buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal dan sebagainya.
Faktor Spesifik
Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang
lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu
masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik
jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah
dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam
harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut
akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi
spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda
bertolak belakang ketika melobi untuk pengendalian atas imigrasi buruh.
Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam
kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal
untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan
tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisis yang
lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas.
Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak
antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini
meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik
di antara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh
analisis ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan
diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar
dari model ini.
Perkembangan Ekspor Indonesia
Ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan
barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukannya ke negara lain.
Sedangkan Impor adalah proses sebaliknya, memasukan barang atau komoditas dari
negara lain ke dalam negeri. Ekspor dan Impor barang secara besar umumnya
membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima.
Salah satu yang umum digunakan untuk menilai kinerja
perdagangan adalah pertumbuhan nilai atau volume ekspor-impor rata-rata
pertahun atau tren pertumbuhan jangka panjangnya.
Kinerja
ekspor Indonesia yang baik dicerminkan salah satunya oleh laju pertumbuhan
rata-rata pertahunnya yang relative tinggi dibandingkan negara-negara
pesaingnya, atau oleh tren pertumbuhan jangka panjangnya yang positif
(meningkat). Tren pertumbuhan jangka panjang yang meningkat mencerminkan
perubahan jangka panjang dari tingkat daya saing produk tersebut didalam
perdagangan global.
Selama lima tahun terakhir (2005-2009) pertumbuhan ekspor
Indonesia cenderung meningkat sebesar 20% pertahun, begitu pula pertumbuhan
impor cenderung meningkat sebesar 9,7% pertahun. Pada Tahun 2009 Indonesia
menduduki peringkat ke-29 dalam ekspor dunia dan posisi ke-28 dalam impor dunia.
Selama tahun 2009, sektor Industri menyumbang 75,3%, pertambangan 20,2% dan
pertanian 4,5 % terhadap total eskpor Indonesia. Negara yang menjadi mitra
Dagang utama Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat Singapura, RRT dan India.
Tingkat Daya Saing Perekonomian Luar Negeri Indonesia
Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan
keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional. Berdasarkan badan
pemeringkat daya saing dunia, IMDWorld Competitiveness Yearbook 2006, posisi
daya saing Indonesia dalam beberapa tahun semakin menurun. IMDWorld
Competitiveness Yearbook (WCY) adalah sebuah laporan mengenai daya saing negara
yang dipublikasikan sejak tahun 1989.
Pada tahun 2000, posisi daya saing Indonesia menduduki peringkat
43 dari 49 negara. Tahun 2001 posisi daya saing Indonesia semakin menurun,
yaitu menduduki peringkat 46. Selanjutnya, tahun 2002 posisi daya saingnya
masih menduduki posisi bawah, yaitu peringkat 47. Lalu, tahun 2003, posisi daya
saingnya malah makin terpuruk, yaitu menduduki peringkat 57. Tahun 2004
menduduki peringkat 58. Tahun 2005 Indonesia menduduki posisi 58. Tahun 2006
Indonesia telah menduduki posisi 60.
Selama lima tahun terakhir (2005-2009) pertumbuhan ekspor
Indonesia cenderung meningkat sebesar 20% pertahun, begitu pula pertumbuhan
impor cenderung meningkat sebesar 9,7% pertahun. Pada Tahun 2009 Indonesia
menduduki peringkat ke-29 dalam ekspor dunia dan posisi ke-28 dalam impor
dunia. Selama tahun 2009, sektor Industri menyumbang 75,3%, pertambangan 20,2%
dan pertanian 4,5 % terhadap total eskpor Indonesia. Negara yang menjadi mitra
Dagang utama Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat Singapura, RRT dan India
Indonesia telah mengalami kemajuan yang mantap dalam
penerapan reformasi perdagangan pada beberapa tahun terakhir dan hal itu
merupakan salah satu dari beberapa faktor yang membantu berkembangnya
penyerapan tenaga kerja di sektor resmi, memangkas tingkat kemiskinan dan
mengembangkan tingkat menengah penduduk Indonesia. Selain itu, Indonesia lebih
beruntung dibanding negara-negara tetangganya dengan berhasil melewati krisis
keuangan dunia secara relatif mulus.
Hal ini memberikan kesempatan yang unik bagi Indonesia
pasca krisis untuk meningkatkan penjualan dalam negeri dan pangsa pasar
dunianya. Untuk meraih kesempatan ini sebaik-baiknya, Indonesia harus terus
mendorong reformasi perdagangan dan menghindari protektionisme yang akan
menghambat efisiensi dan inovasi. Selain Indonesia, hanya Hong Kong dan Cina
saja yang pada tahun 2010 berhasil mengembalikan nilai perdagangan
internasionalnya ke tingkat absolut pra-krisis keuangan dunia.
Walaupun pertumbuhan ekspor komoditas berbasis sumber daya
meningkat tajam, Indonesia hanya mencatat kemajuan yang terbatas dalam
meningkatkan ekspor produk-produk manufaktur dan terproses. Produsen-produsen
Indonesia telah menyuarakan keprihatinan akan daya saing mereka melawan
produsen berbiaya rendah, baik di dalam negeri maupun di pasar asing. Penurunan
pertumbuhan bidang manufaktur dan menyurutnya pangsa ekspor sektor manufaktur
juga menimbulkan tanda tanya mengenai daya saing sektor manufaktur Indonesia.
Satu bidang yang memberati perdagangan sehingga menurunkan
daya saing produk-produk Indonesia dibanding produk impor luar negeri adalah
rendahnya tingkat hubungan perdagangan Indonesia yang merupakan akibat dari
buruknya sistem logistiknya. Hubungan perdagangan adalah masalah yang
memberikan tantangan yang berbeda bergantung pada apakah hambatannya
mempengaruhi hubungan perdagangan internasional, antar pulau atau dalam pulau.
Tingginya biaya transportasi barang-barang bernilai tinggi seperti udang dari
belahan Timur Indonesia ke pusat-pusat pemrosesan di pulau Jawa melambungkan
harga mereka ke titik yang terlalu mahal untuk diekspor, dan juga lebih murah
untuk mengimpor buah jeruk dari Cina dibanding mengirimkannya dari pulau
Kalimantan ke pulau Jawa. Itulah beberapa contoh buruknya efisiensi dalam
perdagangan antar pulau.
Contoh tingginya biaya logistik dalam pulau termasuk parahnya
kemacetan di pulau Jawa, terutama di Jabotabek, dan juga buruknya kualitas
jalan di luar pulau Jawa, yang secara keseluruhan menempatkan biaya
transportasi darat di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata biaya di Asia.
Buruknya kinerja pelabuhan-pelabuhan utama di Jakarta dan Surabaya, karena
rendahnya produktivitas pelabuhan dan tidak penuhnya penerapan National Single
Window (NSW), juga merintangi hubungan perdagangan internasional.
Tingginya biaya dan ketidakpastian jalur transportasi
domestik tersebut juga menghalangi Indonesia untuk lebih terintegrasi ke dalam
jaringan produksi persediaan-minim (just-in-time) produk-produk yang bernilai
tinggi. Perijinan dan harga yang diatur oleh pemerintah menurunkan insentif
untuk berinvestasi dalam layanan yang lebih baik dan membatasi persaingan
antara perusahaan-perusahaan pengiriman darat dan laut di dalam negeri.
Pembatasan investasi asing di bidang logistik makin memperburuk keadaan dengan
terbatasnya akses terhadap teknologi baru.
Sementara Indonesia telah membuat kemajuan dalam
meningkatkan tingkat efisiensi pelabuhan dan bea cukai, masih dibutuhkan
peningkatan lebih lanjut. Rata-rata waktu tunggu kontainer impor di terminal
utama kontainer adalah lima hari, dibanding kurang dari tiga hari pada
kebanyakan pelabuhan-pelabuhan di wilayah tersebut. Impor kontainer kosong
selesai kurang dari setengah lamanya waktu yang dibutuhkan kontainer yang
penuh, menunjukkan bahwa sebagian besar penundaan disebabkan oleh pengawas
perbatasan dan prosedur pemeriksaan dan bukan karena tidak memadainya
prasarana.
Prosedur-prosedur administratif yang membebani dan tidak
jelas juga turut memperburuk penundaan impor dan mengundang korupsi, sehingga
menurunkan daya saing industri-industri yang menggunakan komponen impor. Selain
itu, walaupun Indonesia memiliki ekonomi yang sangat terbuka dalam hal tarif,
halangan non-tarif-nya tetaplah berarti dan belakangan ini terjadi peningkatan
yang mencemaskan dalam halangan non-tarif tersebut.
Sumber :
http://www.kemendag.go.id/id/fa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar